Pada umumnya tablet
mengandung zat aktif dan bahan pengisi, bahan pengikat, disintegran dan
lubrikan, dapat juga mengandung bahan pewarna yang diizinkan, dan bahan
penolong lainnya.
1. Bahan Pengisi
Bahan pengisi
ditambahkan jika jumlah zat aktif sedikit atau sulit dikempa. Jika kandungan
zat aktif kecil, sifat tablet secara keseluruhan ditentukan oleh bahan pengisi
yang besar jumlahnya. Selain itu, bahan pengisi dapat juga ditambah karena
alasan kedua yaitu memperbaiki daya kohesi sehingga dapat dikempa langsung atau
untuk memacu aliran.
Bahan pengisi
harus memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1)
Harus nontoksik dan dapat memenuhi praturan-peraturan
dari Negara di mana produk akan dipasarkan.
2)
Harus tersedia dalam jumlah yang cukup di semua negara
tempat produk itu dibuat.
3)
Harganya harus cukup murah.
4)
Tidak boleh saling berkontraindikasi (misalnya,
sukrosa), atau karena komponen (misalnya, natrium) dalam tiap segmen/bagian
dari populasi.
5)
Secara fisiologi harus inert/netral.
6)
Harus stabil secara fisik dan kimia, baik dalam
kombinasi dengan berbagai obat atau komponen tablet lain.
7)
Harus bebas dari segala jenis mikroba.
8)
Harus color compatible (tidak boleh mengganggu warna).
9)
Bila obat itu termasuk sebagai makanan (produk-produk vitamin tertentu), pengisi dan
bahan pembantu lainnya harus mendapat persetujuan sebagai bahan aditif pada
makanan.
10) Tidak
boleh mengganggu bioavailabilitas obat.
Bahan pengisi
tablet yang umum adalah laktosa, mannitol, pati, dan beberapa bahan pengisi
yang digunakan berada dalam bentuk hidrat seperti kalsium fosfat dan kalsium
sulfat berbasa dua.
2. Bahan Pengikat
Bahan pengikat
memberikan daya adhesi (perekatan) pada massa
serbuk sewaktu granulasi dan pada tablet kempa serta menambah daya kohesi yang
telah ada pada bahan pengisi. Zat pengikat dapat ditambahkan dalam bentuk
kering, tetapi lebih efektif jika ditambahkan dalam bentuk larutan pada
pembuatan granul. Bahan pengikat yang umum meliputi amilum, metilselulosa gom
akasia, gelatin, sukrosa, povidon, dan karboksimetilselulosa.
3. Bahan
Penghancur
Bahan penghancur
atau disintegran ditambahkan untuk
memudahkan pecahnya atau hancurnya tablet menjadi partikel-partikel yang lebih
kecil yang mudah terdispersi atau melarut, sehingga lebih mudah diabsorpsi
ketika berkontak dengan cairan saluran pencernaan. Bahan penghancur berfungsi
menarik air ke dalam tablet, mengembang dan menyebabkan tablet pecah menjadi
fragmen-fragmen yang mungkin sangat menentukan kelarutan selanjutnya dari obat
dan tercapainya bioavailabilitas yang diharapkan. Disintegran tablet yang
paling banyak digunakan adalah Avicel, pati, dan explotab. Kandungan
disintegran, cara penambahan dan derajat kepadatan berperan dalam efektivitas
daya hancur tablet.
4. Bahan Pelincir, Anti Lekat dan Pelicin
Ketiga jenis
bahan ini memiliki fungsi yang saling tumpang-tindih, hal ini disebabkan suatu
bahan anti lekat juga memiliki sifat-sifat pelincir dan pelican. Perbedaan
ketiganya yaitu, suatu pelincir diharapkan dapat mengurangi gesekan antara dinding tablet dengan dinding die,
pada saat tablet ditekan ke luar. Anti lekat bertujuan untuk mengurangi
melengketnya granul pada permukaan punch atau dinding die. Sedangkan pelicin
digunakan untuk memacu aliran serbuk atau granul dengan jalan mengurangi
gesekan di antara partikel-partikel. Bahan yang paling umum digunakan adalah
talk, magnesium stearat, asam stearat, dan kalsium stearat.
5. Zat Warna, Pemberi Rasa dan Pemanis
Penggunaan zat
warna dalam preparat farmasi untuk tujuan estetika, sebagai pembantu sensori
untuk pemberi rasa yang digunakan, dan untuk tujuan kekhasan produk. Ada beberapa keuntungan
penggunaan zat warna dalam tablet yaitu :
1)
Dapat menutupi warna obat yang kurang baik.
2)
Membantu identifikasi hasil produksi.
3)
Membuat suatu produk menjadi lebih menarik.
Zat pemberi rasa biasanya dibatasi pada tablet kunyah
atau tablet lainnya yang ditujukan untuk larut di dalam mulut. Sedangkan
penggunaan pemanis dibatasi terutama pada tablet yang dikunyah untuk mengurangi
penggunaan gula di dalam tablet.Pustaka :
1.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1995. Farmakope Indonesia. Ed. IV. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. 4-6,
112, 488, 515, 649, 711
2.
Ansel, C.H. 1989. Pengantar
bentuk sediaan farmasi. Terjemahan Farida Ibrahim. Ed. IV. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
97, 143, 244-272
3.
Lachman, L., Liebermean, H.A., & Kanig, J.L. 1994. Teori dan praktek farmasi industri.
Terjemahan Siti Suyatmi. Ed. III. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 644-718
4.
Gennaro, A.R. 1990. Remington:
the science and practice of pharmacy. Ed. XX. Mack Publishing. Pensylvania.
858-885
5. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1979.
Farmakope Indonesia. Ed. III.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. 5,
772-773
No comments:
Post a Comment
Sahabat Pengunjung Sawittoku, Mohon untuk meninggalkan saran agar pengembangan kualitas konten blog dapat lebih ditingkatkan.
Demi kenyamanan maka komentar yang mengandung Sara, Pornografi, Perjudian, Pelecehan ataupun sejenisnya dan mengandung Link akan kami jadikan SPAM.Terima Kasih Atas Perhatiannya