Efek samping tanaman obat herbal yang berasal dari faktor luar atau faktor-eksogen dapat disebabkan
oleh adanya cemaran pada saat kultivasi, baik berupa cemaran kimia, maupun
cemaran mikrobiologis; cemaran berupa obat konvensional/bahan kimia obat;
ataupun adanya kegagalan dalam memenuhi persyaratan cara pembuatan yang baik/Good Manufacturing Practice (GMP). Berikut ini faktor penyebab obat herbal mempunyai efek merugikan:
Buka Materi sebelumnya: Efek samping obat herbal harena faktor intristik
Efek samping karena Kesalahan dalam identifikasi
Sebelum menggunakan sediaan herbal sebagai obat harus dipastikan
bahwa tidak menggunakan bahan tanaman yang salah. Menggunakan sediaan herbal yang salah dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan atau keracunan. Sulitnya melakukan penelusuran dan
identifikasi efek samping komposisi herbal dapat disebabkan karena tanaman
memiliki nama dalam empat cara berbeda – nama inggris yang umum, nama
terjemahan, nama latin farmasetikal, dan nama ilmiah.
Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk merujuk genus dan spesiesnya ke dalam nama latin
binomial tanaman. Kesalahan identifikasi
dapat terjadi ketika digunakan nama lainnya. Kesalahan dalam mengidentifikasi
dapat berakibat pada kesalahan-kesalahan lain yang terkait, dan sangat mungkin
menyebabkan implikasi klinik. Tanaman dapat salah diidentifikasi mulai dari
saat masa pembelian tanaman untuk produksi maupun mulai dari saat pemanenan
tanaman.
Contoh kasus nama sains untuk herbal Cina yang
diterjemahkan secara luas sebagai "dong quai", "dong guai",
"danggui" dan "tang kuei" adalah Angelica polymorpha
(dahulu sinensis). Nama Inggris umumnya adalah “angelica” dan nama yang
dilatinkan adalah “Angelica Radix”, yang juga digunakan di Australia. Apabila
di Eropa dapat berarti spesies Angelica
archangelica. Hal ini menggambarkan bahwa penamaan tanaman herbal juga bergantung
pada asal negaranya.
Contoh lain star
anise Cina (Illicium verum
Hook.f.) dan star anise Jepang (Illicium anisatum L.), telah dikenal
selama bertahun-tahun sebagai buah kering yang tidak dapat dibedakan melalui pemeriksaan
visual. Star anise Jepang mirip
dengan star anise Cina tetapi dapat
menyebabkan toksisitas neurologis dan pencernaan karena adanya anisatin. Pada
tahun 2001 kasus keracunan star anise Jepang dilaporkan di Belanda, Spanyol dan
Perancis. Lempuyang di pasaran ada
beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang
emprit (Zingiber amaricans) memiliki bentuk
yang relatif lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit. Lempuyang
emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan.
Jenis yang kedua adalah lempuyang
gajah (Zingiber zerumbet) yang
memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai
penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna
agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya,
jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001). Kerancuan
serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang dianggap sama dengan
keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini
terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia
rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat
mencuat ke permukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit
kanker. Di Belgia, 70 orang harus menjalani dialisis atau transplantasi ginjal akibat
mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003). (lihat juga: Penilaian keamanan obat herbal)
Efek merugikan akibat kurangnya standarisasi
Standarisasi dapat diartikan sebagai penetapan mutu
farmasetik yang dapat direproduksi dengan cara membandingkan suatu produk
terhadap baku pembanding dan dengan menentukan jumlah minimum satu atau lebih
senyawa atau kelompok senyawa. Standardisasi dapat juga diartikan memberikan efek
biologis yang konsisten, profil kimia yang konsisten, atau program jaminan kualitas untuk produksi.
Bagaimana proses standarisasi diterapkan tergantung pada
kandungan aktif dalam tanaman. Di bidang fitomedis, standardisasi hanya
ditujukan untuk ekstrak.
Standarisasi ekstrak terdiri dari:
1. Ekstrak Terstandar (Tipe A): ekstrak distandardisasi
terhadap senyawa berkhasiatnya
2. Ekstrak Terkuantifikasi (Tipe B): ekstrak distandardisasi
terhadap kandungan yang ikut berperan dalam khasiatnya
3. Ekstrak Lain (Tipe C): ekstrak yang distandisasi terhadap
senyawa penuntun (secara farmakologi tidak diketahui)/marker
Misalnya, pada minyak atsiri yang mengandung obat mungkin
dibutuhkan jumlah minimum minyak atsiri atau senyawa tunggal yang ditentukan
dengan suatu metode yang ditentukan secara universal dan memberikan konsumen
atau pasien suatu produk bermutu tinggi yang dapat direproduksi.
Buka juga: Tanaman herbal yang sering disalahgunakan
Contoh standarisasi ekstrak tanaman |
Beberapa alasan penggunaan ekstrak yang teridentifikasi
dengan baik, antara lain:
- Produk yang dihasilkan dapat direproduksi dan biasanya memiliki mutu lebih tinggi. Untuk standardisasi, jumlah bahan yang tidak diinginkan di dalam ekstrak tidak boleh melewati batas tertentu, sedangkan zat aktif harus berada di atas konsentrasi minimum.
- Karena produk harus terdaftar, statusnya menjadi obat yang harus memenuhi standar dasar yang harus dimiliki semua obat.
- Standardisasi memungkinkan pembandingan efektivitas klinis, efek farmakologis dan efek samping sejumlah produk (misalnya terhadap plasebo)
- Produk tersebut memberikan pasien keamanan yang lebih baik (obyektif dan subyektif) sehingga meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal.
Baca Materi terkait: Interaksi Obat Herbal
Di Jerman, produsen obat herbal dituntut standarnya lebih tinggi daripada
di Amerika Utara. Menurut Undang-Undang Obat Jerman (Arzneimittelgesetz), herbal "obat" (persiapan) harus
memenuhi standar yang sama seperti obat kimia seperti kualitas farmasi, khasiat dan keamanan,
sedangkan di Amerika Serikat dianggap sebagai suplemen diet. Contoh kasus kandungan
ginsenoside, steroid terglikosilasi yang merupakan senyawa aktif biologis dari
ginseng (Panax ginseng), diperiksa terhadap
50 merek komersial ginseng yang terjual di 11 negara. Pada 44 produk
diantaranya, konsentrasi ginsenoside yang terkandung yaitu sekitar 1,9% sampai
9% b/b; 6 produk diantaranya tidak mengandung ginsenoside, dan 1 dari enam
produk ini mengandung sejumlah besar efedrin.
Efek samping obat herbal muncul karena Kontaminasi
Kontaminasi bahan awal atau produk oleh bahan atau produk
lain harus dihindarkan. Risiko kontaminasi silang ini dapat timbul akibat tidak
terkendali penyebaran debu, gas, uap, percikan atau organisme dari
bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan
dari pakaian kerja operator. Tingkat risiko kontaminasi ini tergantung dari
jenis pencemar dan produk yang tercemar. Selama masa pertumbuhan tanaman,
tanaman dapat tercemar oleh pestisida, mikroorganisme, senyawa radioaktif,
maupun logam berat. Seperti yang terjadi pada musim panas 1997, ketika sebuah
produk pisang ditemukan terkontaminasi oleh foxglove,
tanaman dimana digitalis diisolasi (Blumenthal, 1997). Contoh lain, skullcap terkontaminasi oleh germander dan akar ginseng Siberia terkontaminasi
oleh akar Periploca sepium (McGuffin,
2000). Beberapa obat herbal yang
diimpor dari Cina mengandung diazepam, kamper, dan merkuri. Kontaminasi juga disebabkan oleh pestisida,
jamur, dan kotoran.
- Kontaminasi mikroorganisme
Tiap bahan alam secara alami membawa sejumlah besar spora
dan mikroorganisme lain. Jumlah maksimum mikroorganisme yang diperbolehkan
diatur dalam European Pharmacopoeia
tahun 2002, yaitu sebagai berikut:
- Hingga 105 mikroorganisme aerob per g atau ml,
termasuk: Hingga 103 ragi dan fungi per g atau ml dan Hingga 103 enterobakteri per g atau ml
- Tidak terdeteksi ada Escherichia
coli (dalam 1 g atau ml)
- Tidak terdeteksi ada Salmonella
sp. (dalam 10 g atau ml)
- Residu pestisida
Pestisida banyak digunakan untuk mencegah ditumbuhinya
tanaman oleh sejumlah besar spesies tanaman, serangga atau hewan yang tidak
diinginkan. Hal ini dapat membahayakan atau mengganggu produksi, penyimpanan,
pemrosesan, transpor dan pemasaran obat bahan alam. Batas yang dapat
ditoleransi tercantum dalam European
Pharmacopoeia tahun 2002, yang dapat dilihat pada tabel dibawah. Impor herba
dari negara dengan peraturan pestisida yang kurang ketat mengakibatkan herba
tersebut harus diperiksa dengan sangat seksama. Buka juga: Kekurangan dari obat herbal
Table 1: Residu pestisida berdasarkan standar pharmakope eropa 2012 |
Tabel 2: lanjutan standar residu pestisida menurut pharmakope eropa 2002 |
- Logam berat
Survei produk TCM (Traditional Chinese Medicine) yang
dilakukan di Singapura antara
tahun 1990 dan 1997 melaporkan
bahwa 42 produk yang berbeda ditemukan
mengandung jumlah logam berat berlebihan
(merkuri, timbal, arsenik). Survei dari 70 produk obat
herbal Ayurvedic yang tersedia di Boston (AS)
menemukan bahwa 20% berpotensi
mengandung konsentrasi
timah, dan merkuri / atau arsen. Kasus toksisitas terkait
dengan logam berat terjadi pada seorang pasien dari Taiwan yang mengalami
sindrom unik disfungsi tubulus ginjal setelah mengkonsumsi TCM yang terkontaminasi
dengan kadmium.
Di Amerika Serikat, dua
kasus alopecia dan polineuropati sensori telah dilaporkan karena kandungan
talium dalam produk TCM. Di Inggris, telah dilaporkan kasus dua pasien
intoksikasi logam berat setelah menelan obat
India yang mengandung arsen dan merkuri anorganik dan pasien keracunan timah setelah
paparan obat India yang mengandung timbal, arsen dan merkuri. Di Makau,
kematian seorang gadis 13 tahun dari keracunan arsenik telah dikaitkan dengan
produk herbal Niu China Huang Tu Chieh Pien.
Efek samping tanaman herbal akibat Substitusi
Substitusi spesies Aristolochia beracun dalam TCM telah
mengakibatkan kasus toksisitas ginjal yang serius dan kanker ginjal di Eropa,
Cina dan Amerika. Toksisitas juga terjadi
dari substitusi batang Aristolochia manshuriensis
untuk batang spesies Clematis dan
Akebia. Dilaporkan pertama kali dari produk yang mengandung asam
aristolochic di Belgia, sejak 1993, lebih dari 100 kasus nefropati ireversibel
dilaporkan pada wanita muda yang menggunakan sediaan yang diklaim untuk
membantu menurunkan berat badan.
Nefrotoksisitas itu ditelusuri karena penggunaan tidak disengaja akar Aristolochia fangchi beracun dalam
formulasi sebagai substitusi Stephania
tetrandra. Asam aristolokat, komponen beracun spesies aristolochia,
diketahui nefrotoksik, karsinogenik dan mutagenik. Badan Penelitian Kanker
Internasional mengklasifikasikan produk yang mengandung spesies Aristolochia sebagai karsinogen.
Beberapa
Pasien di Belgia dilaporkan terkena kanker urothelial akibat dari paparan asam
aristolochic beracun. Kasus
aritmia jantung dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1997 setelah substitusi
tanpa sengaja plantain dengan Digitalis
lanata. Empat belas kasus keracunan podofilum telah dilaporkan dari Hongkong
setelah penggunaan tidak disengaja dari akar Podofilum hexandrum bukan Gentiana dan spesies Clematis, karena kesamaan morfologi.
Efek samping obat herbal akibat dari Adulterasi
Adulterasi adalah
penambahan secara ilegal bahan kimia obat dalam sediaan herbal. Penggunaan
bahan kimia obat yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko efek samping bahkan
menimbulkan kematian. Tidak hanya dilakukan oleh suatu produsen sediaan herbal,
adulteran dapat pula ditambahkan oleh herbalis pada sediaan ramuan herbal untuk
pengobatan pasien secara individual. Survei di USA pada
tahun 1998 melaporkan inkonsistensi
luas dan adulterations dalam obat impor dari Asia. Dari 260. produk yang diuji, setidaknya 83 (32%) mengandung
bahan baku farmasi (paling sering efedrin, chlorphenamine,
metiltestosteron dan fenasetin) atau logam berat (timbal, arsen atau merkuri). Badan POM
telah mengeluarkan public warning
terkait obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat yaitu Nomor HM.03.03.1.43.08.10.8013 tanggal 13 Agustus
2010.
Efek Ketidaktepatan sediaan dan/atau penyiapan
Pemrosesan bahan mentah tanaman yang dilakukan oleh suatu
industri, praktisi pengobatan alternatif, atau bahkan pasien mempengaruhi aktivitas
terapetik dari produk akhir. Hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu bahwa
aktivitas kandungan bahan mentah tanaman mungkin berbeda dari kandungan bahan
yang telah dimurnikan. Contoh kasus kardioksisitas terjadi dari konsumsi
spesies Aconitum dalam TCM telah
dilaporkan dari Hongkong. Dalam TCM,
batang Aconitum diproses dengan
merendam atau merebus dalam air untuk menghidrolisis alkaloid aconite aconine yang kurang beracun. Di
Inggris, penggunaan internal aconite
dibatasi hanya untuk resep.
Efek akibat Ketidaktepatan pelabelan dan/atau pengiklanan
Perkembangan
teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah
untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai
dan telaah atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan.
Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan
membahayakan. Contoh kasus salah satu jenis rumput laut, Fucus vesiculosus,
dalam bentuk sediaan transdermal (patch) mengandung iodium dan diklaim
dapat mengatasi hipotiroid dengan melepas iodium ke dalam tubuh, mempercepat metabolisme
tubuh dan mengakibatkan turunnya berat badan. Klaim ini tidak terbukti.
Dampaknya, jika iodium diabsorbsi secara transdermal, akan menyebabkan
hipertiroid pada individu yang peka. Contohnya, informasi di media massa menyebutkan
bahwa biji jarak (Ricinus communis L)
mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker
(Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika biji
jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi
J, et al., 2005), (Sastroamidjojo, 2001)).
Contoh lainnya adalah tentang pare.
Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih
bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica
charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare mengandung
alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (Momordica Antiviral Protein 30) yang
bermanfaat sebagai anti HIV-AIDS ((Grover JK dan Yadav SP, 2004), (Zheng YT, et
al., 1999)).
Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai
aktivitas anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare
secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas
pada pria ((Girini MM, et al., 2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare
dalam jangka panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat mematikan
sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan berpotensi
merusak liver ((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil, sebaiknya konsumsi pare
dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan
keguguran.
Efek samping luar akibat Ketidaktepatan penggunaan
Satu tanaman obat
dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat
berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya.
Sebagai contoh adalah daun kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat
bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum
dapat menyebabkan keracunan/mabuk (Patterson S, dan O’Hagan D., 2002). Spesies
Ephedra yang digunakan sebagai bronkodilator, simpatomimetik, stimulan SSP dan
jantung sering disalahgunakan sebagai obat pelangsing padahal berbahaya apabila
digunakan dalam dosis tinggi untuk jangka panjang. Hipertensi dan kardiovaskuler lain serta
kasus hepatitis yang semakin memburuk pernah ditemukan.
efek samping luar karena Ketidaktepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu
Dalam satu jenis
tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Rasio
antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi
pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi.
Contoh, daun tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan
diabetes. Akan tetapi daun tapak dara juga mengandung vinkristin dan vinblastin
yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30%.,
akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi.
((Bolcskei H, et
al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)).
Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak
dara tidak tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan
untuk pengobatan leukemia. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985,
terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun
keji beling.
Pada pemeriksaan laboratorium dalam urin-nya ditemukan adanya
sel-sel darah merah (dalam jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan
karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan
iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun
kumis kucing (Ortosiphon stamineus)
yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai
efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium.
Buka Materi Awal: Khasiat dan Keamanan Obat Herbal
Lihat referensinya disini: Daftar Pustaka keamanan obat herbal
No comments:
Post a Comment
Sahabat Pengunjung Sawittoku, Mohon untuk meninggalkan saran agar pengembangan kualitas konten blog dapat lebih ditingkatkan.
Demi kenyamanan maka komentar yang mengandung Sara, Pornografi, Perjudian, Pelecehan ataupun sejenisnya dan mengandung Link akan kami jadikan SPAM.Terima Kasih Atas Perhatiannya