Pengetahuan untuk Hidup lebih Baik

LightBlog

Subscribe Youtube & Dapatkan Video Tips Kesehatan Gratis

Monday, 23 January 2017

Efek samping obat herbal karena faktor Eksogen

Efek samping tanaman obat herbal yang berasal dari faktor luar atau faktor-eksogen dapat disebabkan oleh adanya cemaran pada saat kultivasi, baik berupa cemaran kimia, maupun cemaran mikrobiologis; cemaran berupa obat konvensional/bahan kimia obat; ataupun adanya kegagalan dalam memenuhi persyaratan cara pembuatan yang baik/Good Manufacturing Practice (GMP). Berikut ini faktor penyebab obat herbal mempunyai efek merugikan:
Buka Materi sebelumnya: Efek samping obat herbal harena faktor intristik

Efek samping karena Kesalahan dalam identifikasi

Sebelum menggunakan sediaan herbal sebagai obat harus dipastikan bahwa tidak menggunakan bahan tanaman yang salah.  Menggunakan sediaan herbal yang salah dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan atau keracunan.  Sulitnya melakukan penelusuran dan identifikasi efek samping komposisi herbal dapat disebabkan karena tanaman memiliki nama dalam empat cara berbeda – nama inggris yang umum, nama terjemahan, nama latin farmasetikal, dan nama ilmiah.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk merujuk genus dan spesiesnya ke dalam nama latin binomial tanaman.  Kesalahan identifikasi dapat terjadi ketika digunakan nama lainnya. Kesalahan dalam mengidentifikasi dapat berakibat pada kesalahan-kesalahan lain yang terkait, dan sangat mungkin menyebabkan implikasi klinik. Tanaman dapat salah diidentifikasi mulai dari saat masa pembelian tanaman untuk produksi maupun mulai dari saat pemanenan tanaman.
Contoh kasus nama sains untuk herbal Cina yang diterjemahkan secara luas sebagai "dong quai", "dong guai", "danggui" dan "tang kuei" adalah Angelica polymorpha (dahulu sinensis). Nama Inggris umumnya adalah “angelica” dan nama yang dilatinkan adalah “Angelica Radix”, yang juga digunakan di Australia. Apabila di Eropa dapat berarti spesies Angelica archangelica. Hal ini menggambarkan bahwa penamaan tanaman herbal juga bergantung pada asal negaranya. 
Contoh lain star anise Cina (Illicium verum Hook.f.) dan star anise Jepang (Illicium anisatum L.), telah dikenal selama bertahun-tahun sebagai buah kering yang  tidak dapat dibedakan melalui pemeriksaan visual. Star anise Jepang mirip dengan star anise Cina tetapi dapat menyebabkan toksisitas neurologis dan pencernaan karena adanya anisatin. Pada tahun 2001 kasus keracunan star anise Jepang dilaporkan di Belanda, Spanyol dan Perancis.  Lempuyang di pasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki bentuk yang relatif lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan.
Jenis yang kedua adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001). Kerancuan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang dianggap sama dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat mencuat ke permukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker. Di Belgia, 70 orang harus menjalani dialisis atau transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003). (lihat juga: Penilaian keamanan obat herbal)

Efek merugikan akibat kurangnya standarisasi

Standarisasi dapat diartikan sebagai penetapan mutu farmasetik yang dapat direproduksi dengan cara membandingkan suatu produk terhadap baku pembanding dan dengan menentukan jumlah minimum satu atau lebih senyawa atau kelompok senyawa. Standardisasi dapat juga diartikan memberikan efek biologis yang konsisten, profil kimia yang konsisten, atau  program jaminan kualitas untuk produksi.
Bagaimana proses standarisasi diterapkan tergantung pada kandungan aktif dalam tanaman. Di bidang fitomedis, standardisasi hanya ditujukan untuk ekstrak.
Standarisasi ekstrak terdiri dari:
1. Ekstrak Terstandar (Tipe A): ekstrak distandardisasi terhadap senyawa berkhasiatnya
2. Ekstrak Terkuantifikasi (Tipe B): ekstrak distandardisasi terhadap kandungan yang ikut berperan dalam khasiatnya
3. Ekstrak Lain (Tipe C): ekstrak yang distandisasi terhadap senyawa penuntun (secara farmakologi tidak diketahui)/marker

Misalnya, pada minyak atsiri yang mengandung obat mungkin dibutuhkan jumlah minimum minyak atsiri atau senyawa tunggal yang ditentukan dengan suatu metode yang ditentukan secara universal dan memberikan konsumen atau pasien suatu produk bermutu tinggi yang dapat direproduksi.

Contoh standarisasi ekstrak tanaman
Beberapa alasan penggunaan ekstrak yang teridentifikasi dengan baik, antara lain:
  • Produk yang dihasilkan dapat direproduksi dan biasanya memiliki mutu lebih tinggi.  Untuk standardisasi, jumlah bahan yang tidak diinginkan di dalam ekstrak tidak boleh melewati batas tertentu, sedangkan zat aktif harus berada di atas konsentrasi minimum.
  • Karena produk harus terdaftar, statusnya menjadi obat yang harus memenuhi standar dasar yang harus dimiliki semua obat.
  • Standardisasi memungkinkan pembandingan efektivitas klinis, efek farmakologis dan efek samping sejumlah produk (misalnya terhadap plasebo)
  • Produk tersebut memberikan pasien keamanan yang lebih baik (obyektif dan subyektif) sehingga meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal.

Baca Materi terkait: Interaksi Obat Herbal
Di Jerman, produsen obat  herbal dituntut standarnya lebih tinggi daripada di Amerika Utara. Menurut Undang-Undang Obat Jerman (Arzneimittelgesetz), herbal "obat" (persiapan) harus memenuhi standar yang sama seperti obat kimia seperti  kualitas farmasi, khasiat dan keamanan, sedangkan di Amerika Serikat dianggap sebagai suplemen diet. Contoh kasus kandungan ginsenoside, steroid terglikosilasi yang merupakan senyawa aktif biologis dari ginseng (Panax ginseng), diperiksa terhadap 50 merek komersial ginseng yang terjual di 11 negara. Pada 44 produk diantaranya, konsentrasi ginsenoside yang terkandung yaitu sekitar 1,9% sampai 9% b/b; 6 produk diantaranya tidak mengandung ginsenoside, dan 1 dari enam produk ini mengandung sejumlah besar efedrin.

Efek samping obat herbal muncul karena Kontaminasi

Kontaminasi bahan awal atau produk oleh bahan atau produk lain harus dihindarkan. Risiko kontaminasi silang ini dapat timbul akibat tidak terkendali penyebaran debu, gas, uap, percikan atau organisme dari bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan dari pakaian kerja operator. Tingkat risiko kontaminasi ini tergantung dari jenis pencemar dan produk yang tercemar. Selama masa pertumbuhan tanaman, tanaman dapat tercemar oleh pestisida, mikroorganisme, senyawa radioaktif, maupun logam berat. Seperti yang terjadi pada musim panas 1997, ketika sebuah produk pisang ditemukan terkontaminasi oleh foxglove, tanaman dimana digitalis diisolasi (Blumenthal, 1997).  Contoh lain, skullcap terkontaminasi oleh germander dan akar ginseng Siberia terkontaminasi oleh akar Periploca sepium (McGuffin, 2000).   Beberapa obat herbal yang diimpor dari Cina mengandung diazepam, kamper, dan merkuri.  Kontaminasi juga disebabkan oleh pestisida, jamur, dan kotoran.
  • Kontaminasi mikroorganisme

Tiap bahan alam secara alami membawa sejumlah besar spora dan mikroorganisme lain. Jumlah maksimum mikroorganisme yang diperbolehkan diatur dalam European Pharmacopoeia tahun 2002, yaitu sebagai berikut:
- Hingga 105 mikroorganisme aerob per g atau ml, termasuk: Hingga 103 ragi dan fungi per g atau ml dan Hingga 103 enterobakteri per g atau ml
- Tidak terdeteksi ada Escherichia coli (dalam 1 g atau ml)
- Tidak terdeteksi ada Salmonella sp. (dalam 10 g atau ml)
  • Residu pestisida

Pestisida banyak digunakan untuk mencegah ditumbuhinya tanaman oleh sejumlah besar spesies tanaman, serangga atau hewan yang tidak diinginkan. Hal ini dapat membahayakan atau mengganggu produksi, penyimpanan, pemrosesan, transpor dan pemasaran obat bahan alam. Batas yang dapat ditoleransi tercantum dalam European Pharmacopoeia tahun 2002, yang dapat dilihat pada tabel dibawah. Impor herba dari negara dengan peraturan pestisida yang kurang ketat mengakibatkan herba tersebut harus diperiksa dengan sangat seksama. Buka juga: Kekurangan dari obat herbal

Table 1: Residu pestisida berdasarkan standar pharmakope eropa 2012


Tabel 2: lanjutan standar residu pestisida menurut pharmakope eropa 2002

  • Logam berat

Survei produk TCM (Traditional Chinese Medicine) yang dilakukan di Singapura antara tahun 1990 dan 1997 melaporkan bahwa 42 produk yang berbeda ditemukan mengandung jumlah logam berat berlebihan (merkuri, timbal, arsenik).  Survei dari 70 produk obat herbal Ayurvedic yang tersedia di Boston  (AS) menemukan bahwa 20% berpotensi mengandung  konsentrasi timah, dan merkuri / atau arsenKasus toksisitas terkait dengan logam berat terjadi pada seorang pasien dari Taiwan yang mengalami sindrom unik disfungsi tubulus ginjal setelah mengkonsumsi TCM yang terkontaminasi dengan kadmium.  
Di Amerika Serikat, dua kasus alopecia dan polineuropati sensori telah dilaporkan karena kandungan talium dalam produk TCM.  Di  Inggris, telah dilaporkan kasus dua pasien intoksikasi logam berat setelah menelan  obat India yang mengandung arsen dan merkuri anorganik dan pasien keracunan timah setelah paparan obat India yang mengandung timbal, arsen dan merkuri. Di Makau, kematian seorang gadis 13 tahun dari keracunan arsenik telah dikaitkan dengan produk herbal Niu China Huang Tu Chieh Pien.

Efek samping tanaman herbal akibat Substitusi

Substitusi spesies Aristolochia beracun dalam TCM telah mengakibatkan kasus toksisitas ginjal yang serius dan kanker ginjal di Eropa, Cina dan Amerika.  Toksisitas juga terjadi dari substitusi batang Aristolochia manshuriensis untuk batang spesies Clematis dan Akebia.  Dilaporkan pertama kali dari produk yang mengandung asam aristolochic di Belgia, sejak 1993, lebih dari 100 kasus nefropati ireversibel dilaporkan pada wanita muda yang menggunakan sediaan yang diklaim untuk membantu menurunkan  berat badan. 
Nefrotoksisitas itu ditelusuri karena penggunaan tidak disengaja akar Aristolochia fangchi beracun dalam formulasi sebagai substitusi Stephania tetrandra. Asam aristolokat, komponen beracun spesies aristolochia, diketahui nefrotoksik, karsinogenik dan mutagenik. Badan Penelitian Kanker Internasional mengklasifikasikan produk yang mengandung spesies Aristolochia sebagai karsinogen.
Beberapa Pasien di Belgia dilaporkan terkena kanker urothelial akibat dari paparan asam aristolochic beracun. Kasus aritmia jantung dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1997 setelah substitusi tanpa sengaja plantain dengan Digitalis lanata. Empat belas kasus keracunan podofilum telah dilaporkan dari Hongkong setelah penggunaan tidak disengaja dari akar Podofilum hexandrum bukan Gentiana dan spesies Clematis, karena kesamaan morfologi.

Efek samping obat herbal akibat dari Adulterasi

Adulterasi adalah penambahan secara ilegal bahan kimia obat dalam sediaan herbal. Penggunaan bahan kimia obat yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko efek samping bahkan menimbulkan kematian. Tidak hanya dilakukan oleh suatu produsen sediaan herbal, adulteran dapat pula ditambahkan oleh herbalis pada sediaan ramuan herbal untuk pengobatan pasien secara individual. Survei di USA pada tahun 1998 melaporkan inkonsistensi luas dan adulterations dalam obat impor dari Asia. Dari 260. produk yang diuji, setidaknya 83 (32%) mengandung bahan baku farmasi (paling sering efedrin, chlorphenamine, metiltestosteron dan fenasetin) atau logam berat (timbal, arsen atau merkuri). Badan POM telah mengeluarkan public warning terkait obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat yaitu Nomor HM.03.03.1.43.08.10.8013 tanggal 13 Agustus 2010.

Efek Ketidaktepatan sediaan dan/atau penyiapan

Pemrosesan bahan mentah tanaman yang dilakukan oleh suatu industri, praktisi pengobatan alternatif, atau bahkan pasien mempengaruhi aktivitas terapetik dari produk akhir. Hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu bahwa aktivitas kandungan bahan mentah tanaman mungkin berbeda dari kandungan bahan yang telah dimurnikan. Contoh kasus kardioksisitas terjadi dari konsumsi spesies Aconitum dalam TCM telah dilaporkan dari Hongkong.  Dalam TCM, batang Aconitum diproses dengan merendam atau merebus dalam air untuk menghidrolisis alkaloid aconite aconine yang kurang beracun. Di Inggris, penggunaan internal aconite dibatasi hanya untuk resep.

Efek akibat Ketidaktepatan pelabelan dan/atau pengiklanan

Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan. Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan. Contoh kasus salah satu jenis rumput laut, Fucus vesiculosus, dalam bentuk sediaan transdermal (patch) mengandung iodium dan diklaim dapat mengatasi hipotiroid dengan melepas iodium ke dalam tubuh, mempercepat metabolisme tubuh dan mengakibatkan turunnya berat badan. Klaim ini tidak terbukti. 
Dampaknya, jika iodium diabsorbsi secara transdermal, akan menyebabkan hipertiroid pada individu yang peka. Contohnya, informasi di media massa menyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker (Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo, 2001)). 
Contoh lainnya adalah tentang pare. Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare mengandung alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (Momordica Antiviral Protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV-AIDS ((Grover JK dan Yadav SP, 2004), (Zheng YT, et al., 1999)). 
Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai aktivitas anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria ((Girini MM, et al., 2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat mematikan sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan berpotensi merusak liver ((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)).  Bagi wanita hamil, sebaiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan keguguran.

Efek samping luar akibat Ketidaktepatan penggunaan

Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan/mabuk (Patterson S, dan O’Hagan D., 2002). Spesies Ephedra yang digunakan sebagai bronkodilator, simpatomimetik, stimulan SSP dan jantung sering disalahgunakan sebagai obat pelangsing padahal berbahaya apabila digunakan dalam dosis tinggi untuk jangka panjang.  Hipertensi dan kardiovaskuler lain serta kasus hepatitis yang semakin memburuk pernah ditemukan.

efek samping luar karena Ketidaktepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu

Dalam satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi. Contoh, daun tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun tapak dara juga mengandung vinkristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30%., akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi.
((Bolcskei H, et al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)). Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak dara tidak tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukemia. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di  Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji beling. 
Pada pemeriksaan laboratorium dalam urin-nya ditemukan adanya sel-sel darah merah (dalam jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium.

Lihat referensinya disini: Daftar Pustaka keamanan obat herbal

No comments:

Post a Comment

Sahabat Pengunjung Sawittoku, Mohon untuk meninggalkan saran agar pengembangan kualitas konten blog dapat lebih ditingkatkan.
Demi kenyamanan maka komentar yang mengandung Sara, Pornografi, Perjudian, Pelecehan ataupun sejenisnya dan mengandung Link akan kami jadikan SPAM.Terima Kasih Atas Perhatiannya