Sekilas Tentang Keamanan Penggunaan Obat Herbal
Sudah menjadi opini medis
yang umum bahwa tidak mungkin bila suatu obat memiliki efek terapi namun tidak
memiliki efek samping. Jika herbal diklaim aman/bebas dari efek samping maka
kemungkinan herbal tersebut tidak efektif. Hal ini merupakan pandangan yang
rasional. Suatu intervensi pada suatu loka aksi selalu mengarah pada terjadinya
reaksi pada loka aksi yang lain, baik karena koneksi fungsional atau struktural
maupun karena kesamaan sensitivitas.
Disisi lain, ada
kepercayaan populer yang bertahan bahwa herbal itu aman. Kemungkinan alasan utama mengapa pasien selalu menggunakan herbal
adalah karena mereka mengasumsikan bahwa herbal tidak mempunyai efek samping,
tidak seperti obat konvensional. Banyak herbalis yang memiliki pendapat yang
sama. Mereka merujuk pada penggunaan dari banyak obat tradisional yang sudah
digunakan oleh banyak orang sejak jaman prasejarah. Mereka juga menggunakan
obat herbal untuk tujuan yang berbeda dengan obat konvensional, yaitu untuk
meningkatkan respons penyembuhan daripada menargetkan patologi atau gejala,
dimana obat herbal merupakan sebuah paket yang kompleks yang mengandung
senyawa-senyawa aktif.
Efek toksik dari herbal jarang sekali
terdokumentasikan, walaupun ada beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian
serius. Masalah utama dari penggunaan obat herbal adalah perlunya informasi
yang dapat menjamin keamanan dan menghindari bahaya yang tersembunyi. Hal ini
terutama perlu diatur oleh pemerintah selaku regulator untuk menjamin keamanan
masyarakat dengan membatasi akses terhadap setiap herbal yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.
Jumlah obat herbal diindonesia begitu banyak dan memiliki keragaman, keamanan serta khasiat yang bermacam-macam |
Keramanan Tanaman Herbal di Indonesia
Indonesia merupakan sumber tumbuhan
obat di dunia. Sebanyak 40.000 jenis flora yang ada di dunia, 30.000 jenis
dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai
obat. Keanekaragaman hayati ini merupakan aset nasional yang bernilai tinggi
untuk pengembangan industri agromedisin di dunia. Adanya kecenderungan pola
hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa
mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka
berdampak pada peningkatan permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek
pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri peluangnya semakin
besar.
Menurut Undang-Undang Kesehatan
No.36 Tahun 2009 Obat Tradisional (OT) adalah bahan atau ramuan bahan yang
berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Obat herbal terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan
bahan bakunya telah di standarisasi.
Penggunaan bahan alam
sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita
sejak berabad-abad yang lalu terbukti
dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura
(Sulawesi Selatan), dan dokumen Serat Primbon Jampi.
Menurut WHO, negara-negara
di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap
pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari
populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang
pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan
obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas
akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. WHO merekomendasi
penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit
degeneratif dan kanker. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih
aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat
tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern
(Oktora, 2006).
Klasifikasi Obat Herbal
Menurut peraturan BPOM RI nomor : HK.00.05.41.1384 tentang
kriteria dan tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar
dan fitofarmaka, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut,
yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat bahan alam yang ada di
Indonesia saat ini dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jamu, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka.
Kelebihan Obat Herbal dibandingkan dengan Obat Konvensional
Dibandingkan
obat-obat modern, memang obat tradisional (OT) memiliki
beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu
ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu
tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk
penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.
Efek samping obat tradisional (OT) relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat
OT
akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan
cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu.
Ketepatan dosis
Daun
seledri (Apium graviolens)
telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada
penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dosis) dapat menurunkan tekanan
darah secara drastis sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan
syok. Oleh karena itu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi lebih
dari 1 gelas perasan seledri untuk sekali minum. Demikian pula
mentimun, takaran yang diperbolehkan tidak lebih dari 2 buah untuk sekali makan. Untuk menghentikan diare memang bisa
digunakan gambir, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar
menghentikan diare bahkan akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama
berhari-hari (konstipasi). Sebaliknya penggunaan
minyak jarak (Oleum ricini) untuk diare yang tidak terukur
akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Demikian juga dengan pemakaian
keji beling (Strobilantus crispus)
untuk batu ginjal melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) bisa menimbulkan
iritasi saluran kemih.
Ketepatan waktu penggunaan
Sekitar
tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat mengkonsumsi
jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan). Setelah
dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat
kontraksi otot pada binatang percobaan. Oleh karena itu kesulitan melahirkan
pada ibu-ibu yang mengkonsumsi cabe puyang mendekati masa persalinan karena
kontraksi otot uterus dihambat terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut
dalam menjaga pertumbuhan janin didalamnya selama proses kehamilan berlangsung. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum
sehingga mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal
kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, seyogyanya bagi wanita hamil minum jamu
cabe puyang di awal kehamilan (antara 1-5
bulan) untuk menghindari resiko keguguran dan minum jamu kunir asem saat menjelang persalinan untuk mempermudah proses persalinan.
Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet yang terus
menerus dapat menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang
kurang subur karena ada kemungkinan dapat memperkecil rahim.
Ketepatan cara penggunaan
Daun
kecubung (Datura metel L.) telah
diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga
digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara
dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok).
Akibat kesalahan informasi yang diperoleh atau kesalahfahaman, secara umum penggunaan OT secara tradisional adalah direbus lalu
diminum air seduhannya; maka jika hal itu diperlakukan terhadap daun kecubung,
akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa
menyebutnya ‘mendem kecubung’ dengan salah satu tandanya midriasis (mata membesar).
Ketepatan pemilihan bahan secara benar
Berdasarkan
pustaka,
tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L), lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah
berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu
makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak
pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu
pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal
tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual
lempuyang tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain. Kerancauan
serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang dianggap sama dengan
keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini
terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan Kaempferia
rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ yang sempat
mencuat ke permukaan karena dinyatakan bisa
digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.
Ketepatan pemilihan OT untuk indikasi tertentu
Kenyataan
di lapangan ada beberapa OT yang memiliki khasiat empiris
serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi
tertentu diperlukan beberapa jenis OT yang
memiliki efek farmakologis saling mendukung satu sama lain (efek komplementer).
Walaupun demikian karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan OT tunggal untuk tujuan pengobatan
tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien
di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji
beling. Pada pemeriksaan laboratorium dalam urinnya ditemukan adanya sel-sel
darah merah dalam jumlah melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena
daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi
pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis
kucing (Ortosiphon stamineus) yang
efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai
efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium. Penggunaan
daun tapak dara (Vinca rosea) untuk
mengobati diabetes bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara
mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel
darah putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai
jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan penyakit
karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai pertahanan tubuh.
Adanya efek sinergisme dalam ramuan obat tradisional
Dalam
suatu ramuan OT umumnya terdiri dari beberapa jenis OT yang memiliki efek
saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan hal ini
disebabkan oleh komponen bioaktif tanaman obat yang majemuk. Formulasi dan komposisi
ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi,
bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek
yang dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi
terdiri dari komponen utama
sebagai bahan berkhasiat, bahan penunjang sebagai unsur
pendukung atau penunjang, ajuvan untuk membantu menguatkan efek serta bahan tambahan sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap unsur
bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup
komplek.
Misalnya
suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah, komponennya
terdiri dari : daun seledri (sebagai vasodilator), daun alpukat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren
(sebagai kalsium antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi
lain dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari : kulit kayu rapet
dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik),
rimpang kunyit dan temulawak (sebagai peluruh saluran cerna sekaligus bersifat
pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temulawak
dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit kayu rapet
dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defekasi dinetralisir oleh temulawak dan
kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses pelangsingan sedangkan proses
defekasi dan diuresis tetap berjalan sebagaimana biasa.
Terhadap
ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan (untuk memperbaiki
warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk memenuhi jumlah/volume
tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai koringensia, yaitu korigensia saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu legi), korigensia odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah adas) dan korigensia coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu secang,
kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari atau adas,
sekaligus ada ramuan yang disebut ‘adas-pulowaras’ atau ‘adas-pulosari’.
Untuk
sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali masih diperlukan zat-zat
atau bahan yang berfungsi sebagai stabilisator dan solubilizer. Stabilisator adalah
bahan yang berfungsi menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah kelarutan zat
aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam kunyit yang bersifat
labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral, tetapi stabil dalam
suasana asam, sehingga muncul ramuan ‘kunir-asem’. Demikian juga dengan etil
metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang agak sukar larut dalam air;
untuk menambah kelarutan diperlukan adanya ‘suspending
agent’ yang berperan sebagai solubilizer
yaitu beras, sehingga dibuat ramuan ‘beras-kencur’.
Selain
itu beberapa contoh OT yang
memiliki efek sinergis, misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji
beling, daun kumis kucing, akar teki, daun alpokat, rambut jagung dan lain
sebagainya. Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif
dalam satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Thymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat
batuk. Herba timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri
dari : timol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Timol dalam timi
berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti
bakteri penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non narkotik,
sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang
saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula efek diuretik pada daun
kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid, saponin dan kalium.
satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat
aktif pada tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu
tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga memungkinkan
tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut
adakalanya saling mendukung, tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan
atau kontradiksi. Sebagai contoh, misalnya pada rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza) yang disebutkan
memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain : sebagai anti inflamasi (anti
radang), anti hiperlipidemia (penurun lipida darah), kolagogum (merangsang
pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor (mencegah peradangan hati)
dan juga stomakikum (memacu nafsu makan). Jika diperhatikan setidak-tidaknya
ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara anti hiperlipidemia dan stomakikum.
Bagaimana mungkin bisa terjadi pada satu tanaman, terdapat zat aktif yang dapat
menurunkan kadar lemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu
makan.
Hal
serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum
officinale) yang telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non
polar dan berfungsi sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga
mengandung senyawa tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringen (pengelat) dan bisa menyebabkan konstipasi untuk
menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat
untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan
keunggulan produk OT, tetapi disisi lain merupakan bumerang
karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan
formal.
Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif
Pola
penyakit di Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari
penyakit infeksi (yang terjadi sekitar sebelum tahun 1970) ke
penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang).
Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat ekonomi dan peradaban manusia
yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai
penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan
umat manusia.
Pada
periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang
memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat
modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat,
tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak efektif.
Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan
oleh jasad renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi
berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan
dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik
dan degeneratif. Jenis penyakit metabolik antara lain : diabetes (kencing
manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan
hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif di antaranya : rematik (radang
persendian), asma (sesak nafas), ulkus (tukak lambung), haemorrhoid
(ambaien/wasir) dan pikun (lost of memory).
Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakaian obat dalam waktu lama sehingga jika mengunakan obat modern dikhawatirkan
adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Maka lebih
sesuai bila menggunakan OT, walaupun penggunaannya dalam waktu lama tetapi efek
samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.
Lihat lanjutan: Keamanan obat herbal dibanding obat medis
Lihat referensinya disini: Daftar Pustaka keamanan obat herbal
Lihat referensinya disini: Daftar Pustaka keamanan obat herbal
No comments:
Post a Comment
Sahabat Pengunjung Sawittoku, Mohon untuk meninggalkan saran agar pengembangan kualitas konten blog dapat lebih ditingkatkan.
Demi kenyamanan maka komentar yang mengandung Sara, Pornografi, Perjudian, Pelecehan ataupun sejenisnya dan mengandung Link akan kami jadikan SPAM.Terima Kasih Atas Perhatiannya